Jumat, 13 Februari 2009

tugas UTS islami


Merayakan Laitul Qadar
tugas UTS (didin.k,robi.A,nur azizah)
kelas:9f
tanggal:14 februari 2009
Dari sekian banyak hal yang patut kita rayakan di akhir Ramadhan ini, saya yakin salah satu yang terpenting adalah merayakan sebuah malam yang telah dilalui. Sebuah malam yang ternyata lebih bermutu ketimbang seribu bulan di masa-masa mendatang dalam hidup kita. Malam (Laelatul) Qadar adalah sebuah malam yang dinanti-nantikan oleh setiap insan Muslim, dan disambut kedatangannya dengan berbagai bentuk pengabdian, baik berupa qayamullael (shalat tahajjud), qiraah al qur'an (bacaan al qur'an) atau bermacam bentuk ibadah lainnya. Bahkan tidak jarang sebuah masjid melakukan berbagai kegiatan ibadah semalam suntuk.
Apakah "Malam Qadar" itu? Dan kenapa demikian penting di mata insan-insan Muslim? Jawabannya tentu ditemukan pada S. Al Qadar:
"Sungguh Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Malam Al Qadr. Tahukah anda apa Malam Al Qadr itu? Malam Al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".
Pada ayat pertama Allah menegaskan bahwa di malam yang disebut "Laelatul Qadr" itulah diturunkan Al Qur'an. Lalu untuk menarik perhatian pembaca surah ini, Allah mengajukan sebuah pertanyaan: "Dan tahukah engkau apa yang disebut Malam al Qadr?", yang kemudian dijawabnya sendiri: "Malam al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".
Kalau seandainya ada yang kemudian mempertanyakan, kenapa "Laelatul Qadr" itu lebih baik dari seribu bulan? Apa dasar dan alasannya? Apakah ada kwalitas yang dimiliki secara khusus tanpa malam yang lain? Apakah "khaeriyah/imtiyaz" (kebaikan/keistimewaan) malam itu karena malam (sebuah potongan masa) sendiri? Apakah karena Muslimnya yang sedang beribadah malam itu? Atau sebenarnya karena apa?
Beragam respon yang diberikan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar, diantaranya, menilai bahwa "keistimewaan" malam itu adalah karena malamnya tersebut. Sehingga malam itu dijadikan (seolah) malam yang disucikan secara khusus, yang memiliki tanda-tanda lahir misalnya malamnya sejuk dengan terpahan angin lembut, langit di malam itu hampir tidak berawan dengan bulan yang terang benderang. Demikian juga di pagi harinya, tiba-tiba saja mentari terang benderang hampir tak terhalangi oleh sedikit awan pun.
Sebagian lain menilai, keistimewaan malam itu dikarenakan bahwa beribadah pada malamnya akan menghasilkan pahala senilai lebih dari beribadah selama seribu bulan pada malam-malam yang lain. Untuk itu, sebagian umat yang menafsirkan demikian, beribadah dengan sebanyak-banyaknya dan sekaligus cenderung mengkalkulasi secara matematis "nilai" pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sebagian umat ini cenderung bersikap materialistis dalam menyikapi malam al Qadr ini. Akibatnya, dengan merasa telah mendapatkan "Laelatul Qadr", cukuplah kiranya ibadah perbekalan untuk menuju akhirah. Toh, kalau dihitung-hitung ke depan tidak mungkin lagi hidup seribu bulan untuk menyamai satu malam tersebut. Maka selepas Ramadhan, rasa ringan untuk meninggalkan kewajiban bukanlah masalah, karena semua itu telah tertutupi oleh ibadah semalam (laelatul Qadr) itu.
Saya melihatnya, bukanlah masalah jika memang cenderung dinilai demikian. Bukankah disunnahkannya "I'tikaf" di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan juga memang terkait dengan upaya mengoptimalkan ibadah pada malam-malam yang dianggap "kemungkinan besar" jatuhnya "Malam Besar" itu. Seorang Muslim termotivasi untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya merupakan hidayah tersendiri. Sebab memang aneh, jika di awal-awal ramadhan masjid pada ramai tapi di penghujung Ramadhan justeru yang datang hanya segelintir. Padahal, sebaik-baik nilai amalan itu adalah "khawatimuha" (penutupnya).

Free Blog Content

Tidak ada komentar:

Posting Komentar